Businesstrack.id- Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk menghapus ketentuan ambang batas minimal (presidential threshold) dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Keputusan tersebut diambil karena MK menilai ketentuan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945.
Putusan ini dibacakan oleh Ketua MK, Suhartoyo, dalam sidang pleno yang berlangsung pada Kamis, 2 Januari 2025. Dalam amar putusannya, MK mengabulkan permohonan pemohon secara keseluruhan.
Pertimbangan Mahkamah Konstitusi
Wakil Ketua MK, Saldi Isra, menyampaikan bahwa menurut risalah pembahasan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu merupakan hak konstitusional dari partai politik tersebut.
MK menilai, penyederhanaan jumlah partai politik melalui ambang batas presidential threshold yang didasarkan pada hasil pemilu anggota DPR sebelumnya malah berpotensi menciptakan ketidakadilan. Pasalnya, partai politik baru yang lolos sebagai peserta pemilu akan kehilangan hak konstitusional untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, meskipun mereka memenuhi persyaratan untuk ikut serta dalam pemilu.
Saldi Isra menjelaskan bahwa penerapan ambang batas ini tidak efektif dalam menyederhanakan jumlah partai politik yang ikut dalam pemilu. Selain itu, besaran persentase ambang batas dianggap tidak didasarkan pada penghitungan yang jelas dan rasional.
Moralitas dan Kedaulatan Rakyat
MK juga mengkritik penerapan presidential threshold karena dinilai tidak sesuai dengan sistem presidensial Indonesia. Penggunaan ambang batas yang mengacu pada perolehan suara atau kursi DPR, menurut MK, memaksakan logika sistem parlementer pada praktik sistem presidensial yang seharusnya diterapkan di Indonesia. Keputusan ini dianggap mengabaikan hak politik dan kedaulatan rakyat serta bertentangan dengan prinsip moralitas, rasionalitas, dan keadilan.
Dengan dasar pertimbangan tersebut, MK menyimpulkan bahwa presidential threshold dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tidak hanya melanggar konstitusi, tetapi juga tidak dapat ditoleransi dalam konteks politik Indonesia yang demokratis.
Dua Hakim Konstitusi Berbeda Pendapat
Meskipun keputusan MK menghapuskan ambang batas presidential threshold, terdapat dua hakim konstitusi yang memberikan pendapat berbeda. Hakim Anwar Usman dan Daniel Yusmic P. Foekh menyatakan pendapat yang berseberangan dengan keputusan mayoritas tersebut.
Latar Belakang Permohonan
Keputusan ini berawal dari permohonan yang diajukan oleh empat mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, yakni Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna. Mereka mengajukan permohonan agar MK menghapus ketentuan presidential threshold dalam UU Pemilu, yang mereka anggap bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
Dengan putusan ini, MK telah mengubah pandangannya dalam beberapa putusan sebelumnya, yang sebelumnya mendukung keberadaan ambang batas tersebut.