Businesstrack.id- PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BNI) terus memperkuat kontribusinya terhadap sektor hilirisasi dan pembiayaan berkelanjutan dengan mencatatkan portofolio mencapai Rp60 triliun di sektor hilirisasi dan Rp190,5 triliun di sektor pembiayaan berkelanjutan pada tahun 2024. Hal ini menunjukkan komitmen BNI untuk mendukung transformasi ekonomi berkelanjutan yang selaras dengan kebijakan pemerintah.
Direktur Utama BNI, Royke Tumilaar, menjelaskan bahwa perseroan memiliki portofolio signifikan di sektor hilirisasi yang mencakup sektor-sektor strategis seperti mineral, batubara, perkebunan, dan kehutanan. “Kami memiliki eksposur yang besar terhadap sektor hilirisasi dengan portofolio sekitar Rp60 triliun, dan kami berkomitmen untuk terus mendukung upaya pemerintah dalam memperkuat sektor-sektor tersebut,” ungkap Royke.
Selain itu, BNI juga berhasil meningkatkan pembiayaan berkelanjutan dengan mencapai Rp190,5 triliun pada 2024, yang mencakup 25 persen dari total kredit perusahaan. Sebagian besar alokasi ini diprioritaskan untuk pembiayaan hijau sebesar Rp73,4 triliun dan pembiayaan untuk UMKM sebesar Rp117 triliun.
Menurut Direktur Risk Management BNI, David Pirzada, BNI berkomitmen untuk mendukung transisi hijau melalui berbagai inovasi produk, termasuk pembiayaan Sustainability Linked Loan (SLL). Hingga Desember 2024, BNI telah berhasil menyalurkan pembiayaan SLL sebesar Rp6 triliun.
David juga menjelaskan bahwa BNI menerapkan pendekatan manajemen risiko yang lebih ketat dengan menggunakan Climate Risk Stress Test (CRST) sesuai dengan pedoman Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pada 2024, CRST diterapkan untuk 50 persen portofolio kredit, dan direncanakan meningkat menjadi 100 persen pada tahun mendatang.
Kinerja pembiayaan BNI pada 2024 mengalami pertumbuhan positif, dengan total pembiayaan naik 11,6 persen year-on-year (yoy) menjadi Rp775,87 triliun. Sektor korporasi tumbuh 17,6 persen, sementara sektor konsumer mencatatkan kenaikan 14,5 persen. Selain itu, tingkat kredit macet (NPL) menurun menjadi 2 persen, sementara indikator risiko kredit (LAR) dan biaya kredit (credit cost) juga menunjukkan perbaikan yang signifikan.