Businesstrack.id- Bank Indonesia (BI) mulai menurunkan secara bertahap jumlah outstanding Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) sebagai langkah untuk memperkuat likuiditas perbankan dan mendorong penyaluran kredit ke sektor riil.
Per 21 April 2025, total outstanding SRBI tercatat sebesar Rp881,86 triliun, atau turun sekitar Rp41,67 triliun dibandingkan posisi akhir Desember 2024 yang mencapai Rp923,53 triliun.
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas BI, Erwin Gunawan Hutapea, menjelaskan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk melepaskan sebagian likuiditas yang selama ini terserap oleh instrumen moneter BI.
“Ini menunjukkan bahwa Bank Indonesia mencoba merilis likuiditas yang ada untuk bisa digunakan oleh perbankan dalam menyalurkan kredit,” ujar Erwin dalam Taklimat Media di Jakarta.
Menurutnya, BI menyediakan berbagai instrumen moneter untuk mengelola kelebihan likuiditas, khususnya likuiditas residual yang belum dimanfaatkan sektor keuangan untuk pembiayaan ekonomi. Tanpa instrumen penempatan sementara seperti SRBI, dana berlebih di pasar justru berisiko digunakan pada aktivitas yang kurang produktif atau berisiko tinggi.
“Kalau likuiditas tidak punya tempat penempatan sementara, dana tersebut akan menjadi excess liquidity yang bisa menimbulkan risiko,” jelasnya.
Erwin menambahkan bahwa seluruh operasi moneter yang dilakukan BI diarahkan untuk mendukung stabilitas dan pertumbuhan ekonomi nasional, terutama dalam situasi perlambatan ekonomi global saat ini.
Dalam kerangka mendukung sektor riil, BI juga telah menerapkan Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) berupa pengurangan Giro Wajib Minimum (GWM). Kebijakan ini memberikan tambahan likuiditas secara permanen dan memperbesar kapasitas pembiayaan bank terhadap dunia usaha.
Selain menurunkan SRBI, BI juga memperkuat likuiditas melalui sejumlah langkah lainnya, seperti menambah volume swap, menyediakan fasilitas repo, serta melakukan pembelian Surat Berharga Negara (SBN).
Selama 2025 hingga 22 April, BI telah membeli SBN senilai Rp80,98 triliun, terdiri dari pembelian di pasar sekunder sebesar Rp54,98 triliun dan pasar primer sebesar Rp26,00 triliun, termasuk Surat Perbendaharaan Negara (SPN) konvensional dan syariah.
“Melalui kebijakan ini, kami ingin memastikan bahwa perbankan memiliki ruang yang cukup untuk mengalirkan kredit ke sektor-sektor produktif,” tutup Erwin.