Businesstrack.id- Bank Indonesia (BI) melaporkan bahwa likuiditas perekonomian Indonesia, yang diukur dengan uang beredar dalam arti luas (M2), tumbuh lebih tinggi pada Februari 2025, mencapai Rp9.239,9 triliun. Posisi M2 ini mengalami pertumbuhan 5,7 persen year on year (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan Januari 2025 yang tercatat sebesar 5,5 persen (yoy).
Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, mengungkapkan bahwa perkembangan tersebut didorong oleh dua komponen utama, yaitu pertumbuhan uang beredar sempit (M1) yang tercatat sebesar 7,4 persen (yoy), dan uang kuasi yang tumbuh 1,8 persen (yoy).
Perkembangan M2 pada Februari 2025 ini terutama dipengaruhi oleh penyaluran kredit yang tumbuh 9,0 persen (yoy), yang relatif stabil dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Penyaluran kredit yang dihitung dalam M2 hanya mencakup pinjaman yang diberikan, bukan instrumen keuangan lain yang dipersamakan dengan pinjaman, seperti surat berharga, tagihan akseptasi, dan tagihan repo.
Selain itu, aktiva luar negeri bersih juga berkontribusi terhadap pertumbuhan M2, yang tumbuh 4,1 persen (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pada Januari 2025 yang tercatat sebesar 2,4 persen (yoy). Sementara itu, tagihan bersih kepada pemerintah pusat mengalami kontraksi sebesar 5,7 persen (yoy), meskipun lebih rendah dibandingkan dengan kontraksi pada Januari 2025 yang tercatat 14,1 persen (yoy).
Di sisi lain, uang primer (M0) adjusted pada Februari 2025 tercatat sebesar Rp1.882,7 triliun, tumbuh 13,0 persen (yoy), meskipun stabil dibandingkan dengan pertumbuhan Januari 2025 yang tercatat sebesar 13,2 persen (yoy). Komponen uang primer ini terdiri dari uang kartal yang tumbuh 9,8 persen (yoy) dan giro bank umum di Bank Indonesia (BI) adjusted yang tumbuh 5,1 persen (yoy).
Bank Indonesia juga mencatat bahwa penyajian statistik M0 adjusted bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai perkembangan uang primer dan pengaruh kebijakan likuiditas yang dilakukan oleh Bank Indonesia, terutama dampak dari penurunan giro bank di BI akibat pemberian insentif likuiditas.