Businesstrack.id- Pemerintah membidik rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada level 39,96 persen dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun 2026. Angka ini dinilai stabil dan tidak berubah selama tiga tahun terakhir.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan dalam konferensi pers RAPBN dan Nota Keuangan 2026, bahwa pemerintah akan terus mengendalikan rasio utang dengan fokus pada pembiayaan utang dalam negeri, pengembangan instrumen pembiayaan inovatif, serta pengelolaan portofolio utang secara aktif.
Kebijakan pembiayaan anggaran 2026 juga diarahkan pada optimalisasi sinergi berbagai lembaga keuangan dan investasi, seperti Badan Layanan Umum (BLU), Special Mission Vehicles (SMVs), Indonesian Investment Authority (INA), dan Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara. Selain itu, Sisa Anggaran Lebih (SAL) dimanfaatkan sebagai bantalan fiskal (fiscal buffer).
Pemerintah juga berencana meningkatkan akses pembiayaan investasi, memperdalam pasar keuangan domestik, serta mendorong kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU) untuk pembiayaan inovatif.
Selama periode 2021 hingga semester I-2025, rasio utang pemerintah relatif stabil di kisaran 39 persen, turun dari puncak 40,7 persen pada 2021 akibat program pemulihan ekonomi nasional pascapandemi COVID-19. Pada akhir 2024, rasio utang tercatat 39,8 persen.
Jika dibandingkan negara-negara sejenis di kawasan Asia Tenggara, rasio utang Indonesia tergolong rendah, sedikit lebih tinggi dari Vietnam (32,9 persen), dan jauh di bawah negara lain yang rata-rata di atas 60 persen.
Dalam RAPBN 2026, pemerintah mengusulkan defisit anggaran sebesar Rp636,8 triliun atau setara 2,48 persen dari PDB, dengan target pendapatan negara sebesar Rp3.147,7 triliun dan belanja negara Rp3.786,5 triliun.